PANGANDARAN - Pasca pengumuman hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Pangandaran yang menunjukkan keunggulan pasangan calon nomor urut 01, Citra Pitriyami dan Ino Darsono, dengan selisih suara 3, 4% dari pasangan calon nomor urut 02, Ujang Endin dan Dadang Solihat, muncul langkah hukum berupa pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dari pihak pasangan calon 02, Rabu ( 4/12/2024)
Menanggapi dinamika ini, Tedi Yusnanda N., Direktur Eksekutif Sarasa Institute, menyampaikan pandangannya melalui sambungan telepon. Ia menilai bahwa langkah tersebut merupakan upaya yang wajar dan menjadi bagian dari hak konstitusional setiap peserta pemilu. "Mengajukan gugatan ke MK adalah hal biasa dalam demokrasi. Itu adalah hak setiap pasangan calon untuk memastikan keadilan dalam proses pemilu, " ujar Tedi.
Namun, Tedi menekankan bahwa pengawasan terhadap proses penyelenggaraan pemilu harus menjadi fokus utama, bukan hanya pada hasil akhir. “Kita harus bertanya, apakah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sudah bekerja maksimal dalam mencegah dan mengawasi potensi kecurangan? Pengawasan tidak boleh pasif hanya menunggu laporan, tetapi harus proaktif dalam mencegah praktik-praktik yang tidak fair, ” jelasnya.
*Kecurangan: Fokus pada Proses, Bukan Hasil*
Tedi mengkritik pendekatan yang hanya berfokus pada pembuktian kecurangan melalui hasil pemilu. Ia menyebut bahwa kecurangan sering kali dirancang dalam proses, seperti kebijakan yang terindikasi berpihak. Contohnya, pertemuan tertutup dengan Aparatur Sipil Negara (ASN), pembagian bantuan sosial, hingga pemberian insentif kepada kepala desa dan RT/RW di masa kampanye.
“Kecurangan politik tidak selalu kasatmata. Dalam teori politik, ada istilah seperti pork barrel politics, di mana dana publik digunakan untuk keuntungan politik tertentu. Dalam konteks pemilu, ini bisa diterjemahkan menjadi program-program yang hanya menguntungkan salah satu pihak, ” tambahnya.
Menurut Tedi, kecurangan tidak harus dibuktikan seperti kasus tindak pidana yang membutuhkan bukti konkret. “Yang perlu dilihat adalah bagaimana proses itu dirancang untuk menciptakan keunggulan yang tidak adil. Jadi, pendekatan kita seharusnya not by result, but by process, ” tegasnya.
*Membangun Kepercayaan Publik*
Lebih lanjut, Tedi juga menggarisbawahi pentingnya transparansi dan pencegahan untuk membangun kepercayaan publik terhadap hasil pemilu. Ia menyatakan bahwa langkah hukum seperti yang dilakukan pasangan calon 02 harus dilihat sebagai bagian dari mekanisme untuk memperbaiki sistem, bukan sekadar upaya untuk menggugat hasil.
“Apapun hasil akhirnya, siapapun yang dinyatakan menang, itu harus diterima sebagai keputusan terbaik untuk masyarakat Pangandaran. Tapi, proses hukum ini harus menjadi pembelajaran bahwa pengawasan pemilu tidak hanya soal menghitung suara, tetapi juga mengawasi integritas penyelenggaraannya, ” Ungkapnya
Dengan perhatian yang besar terhadap keadilan dalam proses pemilu, Tedi berharap bahwa kasus ini menjadi momentum untuk memperkuat sistem demokrasi di Pangandaran. "Pilkada bukan hanya soal menang dan kalah, tetapi soal menjaga kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi, " pungkasnya.( JNI )