OPINI - Keputusan Prabowo Subianto untuk membawa Indonesia bergabung dengan BRICS - kelompok ekonomi yang dihuni Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan - bukan hanya langkah diplomasi ekonomi. Ini adalah pernyataan geopolitik yang mengundang refleksi mendalam tentang posisi Indonesia di dunia. Di tengah kekuatan global yang semakin bipolar antara Amerika Serikat dan China, keputusan ini memberikan angin baru bagi peran Indonesia. Namun, bagaimana dampaknya pada perbatasan strategis seperti Pangandaran?
Dalam teori realisme politik internasional, seperti diutarakan Hans Morgenthau, negara adalah aktor utama yang bertindak berdasarkan kepentingan nasional demi mempertahankan kekuasaan. BRICS menawarkan peluang, terutama dalam investasi dan akses pasar global, namun mengikat diri ke aliansi ini juga berarti berhadapan dengan tekanan geopolitik Amerika Serikat dan sekutunya, seperti Australia, yang memiliki pangkalan militer di Pulau Cocos.
Pangandaran: Perbatasan Internasional Selatan Pulau Jawa
Pangandaran, sebagai salah satu wilayah di selatan Pulau Jawa, menjadi semakin relevan. Di seberangnya, hanya beberapa ratus kilometer, terletak Australia - sekutu dekat Amerika Serikat yang strateginya di Indo-Pasifik semakin agresif. Pulau Cocos, dengan pangkalan militer Amerika yang terus diperkuat, menjadi tempat strategis yang perlu diperhitungkan bagi kawasan sekitar. Dalam konteks ini, Pangandaran, dengan posisi geografisnya, bukan lagi sekadar destinasi wisata dunia yang sedang dikembangkan, tetapi juga benteng potensial.
Namun, pertanyaan besar muncul: Apakah Pangandaran sudah mendapatkan perhatian yang cukup sebagai perbatasan strategis?
Teori dependensi oleh Theotonio dos Santos mengingatkan kita bahwa negara-negara berkembang sering kali terjebak dalam pola ketergantungan pada kekuatan besar, baik secara ekonomi maupun militer. Jika BRICS adalah alat untuk melawan dominasi Barat, maka Pangandaran bisa menjadi titik perlawanan simbolis. Tetapi ini hanya mungkin jika pemerintah pusat dan Presiden Prabowo sendiri mengarahkan investasi strategis ke wilayah ini, bukan sekadar membiarkannya terperangkap dalam narasi pariwisata.
Wisata dan Keamanan: Dilema Pangandaran
Pangandaran adalah mimpi yang ingin diwujudkan sebagai destinasi wisata dunia, dengan pantai-pantainya yang memikat dan kekayaan alam yang melimpah. Namun, peran ini rentan jika diabaikan sebagai perbatasan strategis. Wisata dan keamanan adalah dua wajah yang harus diselaraskan. Dalam buku The Tragedy of Great Power Politics, John Mearsheimer menjelaskan bahwa di dunia yang anarkis, kekuatan besar akan selalu mencari cara untuk menegaskan dominasinya. Dengan kata lain, keamanan adalah prioritas sebelum mimpi wisata bisa diwujudkan.
Baca juga:
Tony Rosyid: MK Tidak Butuh Rehabilitasi?
|
Bayangkan, jika konflik antara Amerika dan China di Indo-Pasifik meningkat, Pangandaran bisa menjadi "kolateral" dari ketegangan ini. Pangkalan militer di Pulau Cocos, misalnya, memiliki kapasitas untuk mengawasi dan memengaruhi perairan selatan Indonesia. Tanpa strategi pertahanan yang kuat, Pangandaran - dan wilayah sekitarnya - bisa menjadi target empuk.
Harapan pada Prabowo
Sebagai Presiden, Prabowo memikul tanggung jawab besar. Dalam skema BRICS, Indonesia memiliki peluang memperkuat posisinya sebagai negara non-blok yang memanfaatkan kedua kutub kekuatan. Tetapi, ini hanya efektif jika Prabowo memastikan bahwa wilayah strategis seperti Pangandaran tidak dilupakan. Investasi dalam infrastruktur militer, patroli laut, dan keamanan siber harus menjadi bagian dari prioritas pembangunan di kawasan ini.
Prabowo juga harus menyadari bahwa geopolitik global selalu berdampak pada level lokal. Pangandaran, dengan keindahan alamnya, tidak hanya memerlukan promosi wisata, tetapi juga perlindungan menyeluruh.
Seperti yang dikatakan oleh Edward Said dalam Orientalism, hubungan antara pusat kekuasaan global dan pinggiran selalu kompleks. Pangandaran adalah "pinggiran" yang terancam menjadi korban konflik kekuatan global jika tidak dilindungi dengan bijak.
Menyeimbangkan Peran Pangandaran
Dalam menghadapi tantangan ini, Pangandaran membutuhkan narasi baru. Narasi yang tidak hanya melihatnya sebagai surga wisata, tetapi juga sebagai benteng strategis. Kolaborasi antara pariwisata, ekonomi, dan keamanan harus dijalin dengan cermat.
Keputusan Indonesia bergabung ke BRICS adalah langkah berani. Namun, keberanian ini harus dibarengi dengan langkah nyata di perbatasan seperti Pangandaran. Di tengah ketegangan geopolitik, nasib Pangandaran adalah cerminan dari bagaimana Indonesia menjaga keseimbangan antara ambisi global dan tanggung jawab lokal.
Prabowo, waktu Anda untuk bertindak telah tiba.
Pangandaran, 02 November 2024
Penulis: Tedi Yusnanda N (Direktur Eksekutif Sarasa Institute)