OPINI - Dalam suasana yang tenang, tanpa ketegangan, Aliansi Umat Islam Pangandaran bertemu dengan Kapolres Pangandaran, AKBP Mujianto, SIK. MH. Pertemuan ini lebih dari sekadar silaturahmi; ia menjadi forum untuk mengungkapkan kegelisahan yang lama terpendam. Di hadapan Kapolres, Iman Nugraha—yang lebih dikenal sebagai Kang Boim—menyuarakan keresahan yang merundung hati umat, sebuah kegelisahan yang tak bisa lagi diabaikan.
Kang Boim, dengan nada yang tegas namun bersahaja, mengangkat isu-isu yang selama ini menjadi perhatian utama Aliansi Umat Islam Pangandaran. Peredaran minuman keras yang kian tak terkendali, narkoba yang meracuni generasi muda, hingga prostitusi yang menjerat tubuh dan jiwa. Semua ini terjadi meski Pemda Pangandaran telah memiliki Perda K3 dan Perda Minuman Beralkohol (Minol) yang jika ditegakkan, dapat mengendalikan kemaksiatan yang nyata-nyata dilarang oleh setiap agama, bukan hanya Islam.
Dalam setiap agama, kemaksiatan adalah pintu gerbang kehancuran moral. Sejarah mengajarkan kita betapa berbahayanya ketika penguasa dan masyarakat abai terhadap dosa-dosa yang dianggap kecil. Kisah-kisah tentang kota yang runtuh karena perzinahan, atau masyarakat yang hancur karena mabuk akan kenikmatan sesaat, seharusnya menjadi peringatan. Tetapi, di Pangandaran, seakan kisah-kisah itu tidak lagi menggema.
Namun, pertemuan ini bukanlah sekadar forum keluh kesah. Ada harapan di dalamnya. Kapolres Mujianto menyambut dengan baik setiap masukan yang diberikan. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Pangandaran membawa tanggung jawab yang berat. Sebagai penjaga keamanan, ia berjanji untuk menuntaskan setiap masalah yang dapat menimbulkan penyakit sosial di masyarakat.
Tetapi, janji itu harus diuji oleh waktu. Tedi Yusnanda N dari Generasi Hijrah Pangandaran dengan tegas meminta agar dalam 100 hari ke depan, Kapolres dapat menunjukkan tindakan nyata. Ini bukan sekadar soal kebijakan, tapi soal komitmen moral untuk menjaga Pangandaran dari kehancuran nilai-nilai luhur.
Di sini, kita melihat pertemuan dua dunia: dunia aspirasi yang penuh iman dan dunia kekuasaan yang sering kali terseret arus pragmatisme. Dalam sejarah, dialog antara keduanya jarang berakhir manis. Namun, harapan selalu ada, bahkan dalam ruang sekecil audensi ini.
Mungkin, inilah saatnya bagi Pangandaran untuk membuktikan bahwa ia tidak akan jatuh ke dalam jurang kemaksiatan yang merusak. Seperti yang pernah dikatakan seorang bijak, “Bangsa yang besar bukan hanya yang mampu mempertahankan wilayahnya, tapi juga nilai-nilai moral yang menjadi pondasi peradabannya.” Kini, semua mata tertuju pada Kapolres dan langkah-langkahnya ke depan.
Jika dalam 100 hari ke depan kita melihat perubahan, maka audensi ini akan menjadi tonggak penting. Tetapi jika tidak, mungkin kita harus kembali merenungi mengapa kita begitu sering menaruh harapan pada janji-janji yang rapuh. Sejarah mengajarkan kita banyak hal, tapi ia juga memperingatkan kita bahwa tanpa tindakan nyata, segala aspirasi hanya akan menjadi omong kosong yang tertelan waktu.
Penulis : Tedi Yusnanda N ( Pegiat sarasa Pangandaran)